Langit Senja

ASSALAMUALAIKUM WR. WB. :: SELAMAT DATANG DI BLOG MAWADDATUL FATIHA RIDWAN :: Semoga Bermanfaat ^_^

Jumat, 25 Januari 2013

MAKALAH KRITERIA GHARAR



KRITERIA GHARAR

Di Susun Oleh :
MAWADDATUL FATIHA RIDWAN
(41002057)
MITA MARCELINA
(41002058)




Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (SEBI)
Sawangan – Kota Depok

A.   PENDAHULUAN
            Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan adalah mendapatkan keuntungan materi semata. Parameter agama dikesampingkan, yang menjadi ukuran adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan ciri khas peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi supply and demand serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi hal yang wajar.
            Salah satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty).

A.    URAIAN MATERI
*      Kriteria Gharar Yang Diharamkan
Bai' al-Gharar adalah setiap jual beli yang mengandung ketidak jelasan dan perjudian.[1]
Gharar dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria berikut:

1.      Jumlahnya besar.
            Jika gharar yang sedikit tidak mempengaruhi keabsahan akad, seperti: pembeli mobil yang tidak mengetahui bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui rincian aset perusahaan.
            Ibnu Qayyim berkata, "gharar dalam jumlah sedikit atau tidak mungkin dihindari niscaya tidak mempengaruhi keabsahan akad, berbeda dengan gharar besar atau gharar yang mungkin
dihindari".[2]

            Al Qarafi berkata, gharar dalam bai' ada 3 macam:
-          Gharar besar membatalkan akad, seperti menjual burung di angkasa.
-          Gharar yang sedikit tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidakjelasan pondasi rumah atau ketidakjelasan jenis benang qamis yang dibeli.
-          Gharar sedang, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, apakah boleh atau tidak. Al Baji berkata, "gharar besar yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bai' ini gharar".[3]
2.      Keberadaannya dalam akad mendasar.
            Jika gharar dalam akad hanya sebagai pengikut tidak merusak keabsahan akad. Dengan demikian menjual binatang ternak yang bunting, menjual binatang ternak yang menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon dibolehkan. Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut tidakjelas, karena keberadaanya hanya sebagai pengikut.

3.      Akad yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak.
Jika suatu akad mengandung gharar dan akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak hukumnya sah dan dibolehkan. Ibnu Taimiyah berkata," mudharat gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada dibolehkan".[4] Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti: wortel, bawang, umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya, seperti: semangka telur dan lain-lain sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih dahulu bagian dalamnya atau dicabut dari tanah.

4.      Gharar terjadi pada akad jual-beli.
            Jika gharar terdapat pada akad hibah hukumnya dibolehkan.
Misalnya:
-       Seseorang bersedakah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang yang menerima tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, maka akadnya sah walaupun mengandung gharar.

*      Gharar Terjadi Selain Pada Akad Komersil (akad mu’awadhat) (أن يكون في غير عقود المعاوضات).

بأن الغرر منع في عقود المعاوضات، وما فيه شائبة معاوضة؛ لأن المال في هذه العقود مقصود تحصيله أو مشروط، فمنع الشارع الحكيم الغرر فيهما، صوناً للمال عن الضياع في أحد العوضين أو كليهما. أما عقود الإحسان والتبرعات فمقصودها بذل المال وإهلاكه في البر، فلذلك لم يأت ما يدل على منع الغرر فيها، وليست كعقود المعاوضات، فتلحق بها.
Artinya: ”Gharar tidak diperbolehkan dalam akad – akad komersial (al-muawadhat),[5] dan akad yang mengandung unsur komersial, karena harta dalam akad-akad ini ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau akad – akad yang bersyarat.[6] Asy-Syari’ (Allah SWT) melarang gharar dalam keduanya, dalam rangkan menjaga harta dari kehilangan pada salah satu dari kompensasi atau keduanya (pent- harga/uang dan obyek barang). Adapun akad non komersial dan akad sosial, bertujuan untuk memberikan harta dan menghabiskannya untuk tujuan kebaikan. Maka tidak ada dalil yang melarang gharar dalam akad non komersial dan akad sosial. Berbeda dengan akad – akad komersial , maka gharar tidak diperkenankan.
            Namun demikian, terdapat sejumlah ulama seperti Imam Nawawi yang berpendapat bahwa gharar yang terjadi dalam akad komersial dapat ditoleransi,[7] seperti halnya jual beli yang terdapat unsur gharar didalamnya, tatkala transaksi tersebut memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
  • terdapat kebutuhan yang mengharuskan melakukan gharar (إن دعت الحاجة إلى ارتكاب الغرر),
  • tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali (لا يمكن الاحتراز عنه إلا بمشقة),
  • gharar yang terjadi ringan/sepele (وكان الغرر حقيرا),
 أجمعوا على صحة بيع الجبة المحشوة وإن لم ير حشوها ولو بيع حشوها بانفراده لم يجز
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan jual beli jubah/jas yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara terpisah, maka  justru tidak diperbolehkan. Sebagian ulama memberi toleransi atas gharar yang terjadi dalam beberapa akad komersial, karena memenuhi kriteria seperti diatas:
 وأجمعوا على جواز إجارة الدار والدابة ونحو ذلك شهرا مع أن الشهر قد يكون ثلاثين يوما وقد يكون تسعة وعشرين ،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan menyewa rumah atau hewan  dan yang semisal selama 1 bulan, walau 1 bulan dapat berarti 30 hari atau 29 hari”.
 وأجمعوا على جواز دخول الحمام بالأجرة مع اختلاف الناس في استعمالهم الماء وفي قدر مكثهم ،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan masuk ke dalam kamar mandi (umum) dengan upah (ujrah), walau ada perbedaan dalam penggunaan air dan berapa lama waktu didalam kamar mandi tersebut”.
 وأجمعوا على جواز الشرب من السقاء بالعوض مع جهالة قدر المشروب واختلاف عادة الشاربين وعكس هذا ،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan minum dari tempat air minum dengan upah, walau tidak diketahui banyaknya air yang diminum dan perbedaan kebiasaan para peminim dan sebaliknya.”
            Mengamati berbagai larangan bagi terjadinya gharar dalam transaksi menurut syariat Islam, maka sebagaimana disampaikan oleh Dharir, maka gharar dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
                        Pertama, gharar terkait dengan kontrak.
            Gharar ini muncul dikarenakan adanya kontrak yang memang berimplikasi pada adanya ketidakjelasan atau ketidaktahuan. Ada beberapa kontrak yang mengandung gharar, meliputi :
-       Dua jual beli dalam satu kontrak,
-       down payment atau arbun,
-       jual beli yang hanya sekedar menyentuh dan tidak boleh mengecek barang,
-       Perdagangan yang disandarkan pada peristiwa tertentu di masa mendatang sebagai syaratnya (mu’allaq),
-       Perdagangan yang di ditunda untuk masa tertentu di waktu yang akan datang (mudhaf).

            Kedua adalah gharar yang terkait dengan objek.
            Gharar yang terkait dengan objek ini pada prinsipnya adalah semua ketidakjelasan atau ketidaktahuan akan jenis dari suatu barang, klasifikasi barang serta sifat-sifat termasuk kuantitas, identitas spesifik ataupun karena waktu pembayarannya yang tidak pasti. Termasuk dalam gharar yang terkait dengan objek ini adalah jika objeknya tidak memungkinkan untuk diserahkan atau objeknya tidak eksis atau tidak ada dan terakhir adalah objek yang tidak dapat disaksikan atau dilihat.
            Secara detail, cakupan gharar jenis ini adalah :
-       Ketidaktahuan akan jenis objek
-       Ketidaktahuan akan spesies objek
-       Ketidaktahuan akan sifat (atribut) objek
-       Ketidaktahuan akan kuantitas objek
-       Ketidaktahuan akan essensi objek
-       Ketidakmampuan untuk menyerahkan barang, memperjanjikan objek yang tidak ada, serta, memperjualbelikan barang yang tidak dapat dilihat.


Ada dua jenis akad :
1)      Akad tabarru’, menyebutnya aqdun tabarrui’yyun - limashlahati ahadit torofain - gratuitous contract) adalah akad derma/sumbangan atau kebajikan, untuk kepentingan salah satu pihak. Akad Tabarru ini juga suatu transaksi yang tidak berorientasi komersil atau not profit oriented (transaksi nirlaba). Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersil akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu ‘alal birri wattaqwa). Dalam akad ini pihak yang berbuat kebaikan (bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan (bank) dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part). Tapi tidak bolehkan sedikitpun untuk mengambil laba dari akad tabarru ini. Yang termasuk dalam akad tabarru dalam Bank Syariah di antaranya: qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah hibah, wakaf, shadaqah, zakat, dan hadiah.

2)      Akad mu’awadhoh yang berarti pertukaran. (aqdun mu’awadhoh atau commutative contract. Kata mu’awadah berasal dari kata iwadho (badalun – ganti, tukar) yang berarti alkholafa (ganti) dan albadlu lisy-syay’i (ganti bagi sesuatu). Secara fikhiyyah, mu’awadhoh berarti almubadalatu baina iwadhoini (penggantian antara dua pertukaran). Akad mu’awadhoh merupakan salah satu sarana pemilikan yang berasaskan pada perwujudan hak dan kewajiban secara timbal balik antara para pelaku akad, seperti jual beli, ijaroh dan bai’us salam.[8] Hampir mirip dengan akad muawadhoh ialah apa yang disebut sebagai akad tijari yakni akad yang berorientasi pada keuntungan komersil (for profit oriented). Dalam akad ini, masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya termasuk pada kelompok akad tijari ini di antaranya : munâbahah, salâm, ‘istishna, musyârakah, mudhârabah, ‘ijârah, ‘ijâtah mumtahia bittamlik, sharf, muzâra’ah, musâdaqah, mukhâbarah dan barter.[9]

*      Gharar terjadi pada objek utama transaksi
            Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibatakibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan dengan Syariah.   Kedudukan obyek akad adalah sangat penting karena ia termasuk bagian yang harus ada (rukun) dalam hukum perjanjian Islam. Oleh karena keberadaannya sangat menentukan sah tidaknya perjanjian yang akan dilakukan, maka obyek akad harus memnuhi syarat-syarat sahnya seperti terbebas dari unsur-unsur gharar (ketidakjelasan).
§  Macam Gharar :
1.      Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual rumah ini kepada si A tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang mengandung sesuatu tidak jelas).
2.      Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya, contoh : jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.
§  Gharar dalam objek transaksi :
1.      Ketidakjelasan jenis objek transaksi (الجهالة في جنس المعقودعليه)
Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya).[10] Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan adanya syarat,[11] berdasarkan hadis berikut:
Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”.
            Akan tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsure penipuan (gharar)

2.      Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (الجهالة في نوع المعقودعليه)
Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian” tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana.[12] Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.[13]
Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)

3.      Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi ( (الجهالة في الصفة المعقودعليه
            Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
            Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping itu pembeli juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk disebutkan sifat dan karakternya.[14]
            Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan gharar yang dilarang dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’I mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan karakternya.[15]

4.         Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi (الجهالة في القدر المعقودعليه)
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan jelas memaparkan pendapatnya.
Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsure gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu. Adapun illat dari pengharamannya adalah adanya unsure riba yaitu aspek penambahan dan gharar karena tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.[16]

5.         Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi (الجهالة في الذات المعقودعليه)
Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam.[17]
Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap akad. Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang melebihi dari tiga.[18]

6.         Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi (الجهالة في الزمن المعقودعليه)
            Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.[19]
            Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan pembayaran.[20]

7.         Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi (عدم الفدرة على تسليم)
            Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak.[21]
            Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab : jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).[22]

8.         Objek transaksi yang spekulatif
Gharar yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (ma’dum) obyek transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.[23]

§  Macam Gharar ditinjau dari hukumnya :
1.      Gharar banyak hukum haram, contoh : menjual ikan diair
2.      Gharar sedikit hukum mubah, contoh :pondasi rumah ketika dibeli orang lain
3.      Gharar sedang hukum masih diperselisihkan para ulama

Contoh :
a.       Masalah Asuransi
b.      Wc umum (tidak ada kejelasan apakah mau beli airnya atau sewa tempatnya, contoh lain ; penjualan rumah, itu sudah pasti sama pondasinya, walaupun tidak disebutkan, memancing ikan, kalau niatnya ingin membeli ikan maka tidak boleh, karena ada unsure gharar, tetapi kalau menyewa tempat hal itu diperbolehkan.
c.       seperti restoran, dimana makan sekenyangnya, pokoknya sekali makan, hal ini tidak ada kejelasan masing-masing.

§  Macam Gharar ditinjau dari kandungannya ;
1.      Jual beli yang belum ada dan masih diragukan keberadaannya.
2.      Jual beli sesuatu yang tidak dapat atau mungkin diserahterimakan.
3.      Jual beli al majhul (sesuatu yang tidak jelas atau tidak diketahui).

§  Gharar dalam Transaksi :
1.      Kesepakatan satu transaksi
2.      Jual beli dengan hilangnya uang muka
3.      Jual beli jahiliyah (dengan sentuhan, lemparan batu)
4.      Jual beli bergantung
5.      Jual beli al-Mudhof, contoh : si A menjual barang, kalau kontan haraganya Rp 1000 tetapi kalau kredit harganya Rp 1200, kemudian si pembeli mengatakan saya beli barang ini, tapi disini si pembeli tidak menentukan 2 kesepaktan itu. ini termasuk gharar kabir, contoh lain jual rumah dengan jual rumah lagi.










REFERENSI

Standar  Akuntansi Keuangan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, 2007
Transaksi dan etika bisnis islam. Dr. Husain shahatah dan Dr. Siddiq M. Amin ad dharir.
Ahmad Syafiq al-Khotib, dalam kamus Al-Iqtishod wat-Tijaroh Aroby – Inglizy, Beirut – Libanon, 2007, hal. 362
Ahmad Syafiq al-Khotib, hal. 263
Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Umrony, Al-Uqudul Maliyah al-Murokkabah Dirosah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tatbiqiyyah, hal. 31
Dr. H. Habib Nazir, MA, Ensiklopedi Ekonomi Perbankan Syariah, Kafa Publishing, Bandung, cetakan II, 2008, 17-18






[1] http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/gharar.html
[2] zaadul maad jilid.V hal. 820
[3] Muntaqa jilid. 5 hal. 41
[4] Qawaid nuraniyah hal.140
[5] Vide: Bab Ta’min – Abhats Haiah Kibar Al-Ulama, tahun 2001, http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?
[6] Vide: Al-Furuq Lil Qarafii, jilid 1/hal. 150; Adz-Dzkirah Lil Qarafii, jilid 6/hal. 243-244 dan jilid 7/hal. 30; Majmu’ Al-Fatawaa, jilid 31/hal. 270-271
[7] Vide: Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid X/hal. 156
[8] Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Umrony, Al-Uqudul Maliyah al-Murokkabah Dirosah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tatbiqiyyah, hal. 31
[9] Dr. H. Habib Nazir, MA, Ensiklopedi Ekonomi Perbankan Syariah, Kafa Publishing, Bandung, cetakan II, 2008, 17-18
[10]Khiyar ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Nasroun Haroun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 137
[11] Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al Qurtubi, Op.Cit., h. 154
[12] Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah, (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 167
[13] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 191
[14] Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 168
[15] Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 169
[16] Ibn Rusyd, Op. Cit., h. 156
[17] Ibid., h. 148
[18] Ibrahim ibn Yusuf al-Syirazi, al-Mihadzab, (Mesir: Isa al Halbi, 476H), h. 263
[19] Ibid., h. 209
[20] Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 180
[21] Syamsul Anwar, Op.cit., h. 191
[22] Lihat an-Nasa’I, Sunan Nasa’I, ed. Abu al-Fath Abu Guddah (Aleppo: Maktab al-Mathbu’at al Islamiyyah, 1406H), VII: 289, hadis no.4613
[23] Lihat Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad Khotib dkk., (Jakarta: Amzah, 2006), h. 16

5 komentar:

  1. bagussnyaa..mksih yaaa salam kenal by hafizi 085247009321......

    BalasHapus
  2. Jika berkenan silahkan kunjungi blog baru ana yak, blog yg ini lupa password nya :( .. fatiharidwan03.blogspot.com
    trimakasih :)

    BalasHapus
  3. kalau jual beli online apa termasuk gharar juga ya mbak?

    BalasHapus