KRITERIA
GHARAR
Di
Susun Oleh :
MAWADDATUL
FATIHA RIDWAN
(41002057)
MITA
MARCELINA
(41002058)
Sekolah
Tinggi Ekonomi Islam (SEBI)
Sawangan
– Kota Depok
A. PENDAHULUAN
Perkembangan bisnis kontemporer
demikian pesat, yang menjadi tujuan adalah mendapatkan keuntungan materi
semata. Parameter agama dikesampingkan, yang menjadi ukuran adalah mendulang
materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan ciri khas peradaban kapitalis ribawi
yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek bisnis dalam bingkai
ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi supply
and demand serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi
hal yang wajar.
Salah satu praktek yang dilarang
dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis kotemporer ribawi adalah praktek
gharar (uncertianty).
A.
URAIAN MATERI
Kriteria
Gharar Yang Diharamkan
Bai' al-Gharar adalah setiap jual beli yang
mengandung ketidak jelasan dan perjudian.[1]
Gharar dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria
berikut:
1.
Jumlahnya
besar.
Jika gharar yang sedikit tidak
mempengaruhi keabsahan akad, seperti: pembeli mobil yang tidak mengetahui
bagian dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui rincian aset
perusahaan.
Ibnu Qayyim
berkata, "gharar dalam jumlah sedikit atau tidak mungkin dihindari niscaya
tidak mempengaruhi keabsahan akad, berbeda dengan gharar besar atau gharar yang
mungkin
dihindari".[2]
Al Qarafi berkata,
gharar dalam bai' ada 3 macam:
-
Gharar
besar membatalkan akad, seperti menjual burung di angkasa.
-
Gharar
yang sedikit tidak membatalkan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidakjelasan
pondasi rumah atau ketidakjelasan jenis benang qamis yang dibeli.
-
Gharar
sedang, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, apakah boleh atau tidak. Al
Baji berkata, "gharar besar yaitu rasionya dalam akad terlalu besar
sehingga orang mengatakan bai' ini gharar".[3]
2.
Keberadaannya
dalam akad mendasar.
Jika gharar dalam akad hanya sebagai
pengikut tidak merusak keabsahan akad. Dengan demikian menjual binatang ternak
yang bunting, menjual binatang ternak yang menyusui dan menjual sebagian buah
yang belum matang dalam satu pohon dibolehkan. Walaupun janin, susu dan
sebagian buah tersebut tidakjelas, karena keberadaanya hanya sebagai pengikut.
3.
Akad
yang mengandung gharar bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak.
Jika
suatu akad mengandung gharar dan akad tersebut dibutuhkan oleh orang banyak
hukumnya sah dan dibolehkan. Ibnu Taimiyah berkata," mudharat gharar di
bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh
orang banyak, karena jika diharamkan mudharatnya lebih besar daripada
dibolehkan".[4]
Dengan demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti:
wortel, bawang, umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan bagian dalamnya,
seperti: semangka telur dan lain-lain sekalipun terdapat gharar. Karena
kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih
dahulu bagian dalamnya atau dicabut dari tanah.
4.
Gharar
terjadi pada akad jual-beli.
Jika gharar
terdapat pada akad hibah hukumnya dibolehkan.
Misalnya:
-
Seseorang
bersedakah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal dia tidak tahu berapa
jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang
yang menerima tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, maka akadnya sah
walaupun mengandung gharar.
Gharar Terjadi Selain Pada Akad Komersil (akad mu’awadhat) (أن يكون في غير عقود المعاوضات).
بأن الغرر منع في عقود المعاوضات، وما
فيه شائبة معاوضة؛ لأن المال في هذه العقود مقصود تحصيله أو مشروط، فمنع الشارع
الحكيم الغرر فيهما، صوناً للمال عن الضياع في أحد العوضين أو كليهما. أما عقود
الإحسان والتبرعات فمقصودها بذل المال وإهلاكه في البر، فلذلك لم يأت ما يدل على منع
الغرر فيها، وليست كعقود المعاوضات، فتلحق بها.
Artinya:
”Gharar tidak diperbolehkan dalam akad – akad komersial (al-muawadhat),[5]
dan akad yang mengandung unsur komersial, karena harta dalam akad-akad ini
ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau akad – akad yang bersyarat.[6]
Asy-Syari’ (Allah SWT) melarang gharar dalam keduanya, dalam rangkan menjaga
harta dari kehilangan pada salah satu dari kompensasi atau keduanya (pent-
harga/uang dan obyek barang). Adapun akad non komersial dan akad sosial,
bertujuan untuk memberikan harta dan menghabiskannya untuk tujuan kebaikan.
Maka tidak ada dalil yang melarang gharar dalam akad non komersial dan akad
sosial. Berbeda dengan akad – akad komersial , maka gharar tidak diperkenankan.
Namun demikian, terdapat sejumlah
ulama seperti Imam Nawawi yang berpendapat bahwa gharar yang terjadi dalam akad
komersial dapat ditoleransi,[7]
seperti halnya jual beli yang terdapat unsur gharar didalamnya, tatkala
transaksi tersebut memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
- terdapat kebutuhan yang mengharuskan melakukan gharar (إن دعت الحاجة إلى ارتكاب الغرر),
- tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali (لا يمكن الاحتراز عنه إلا بمشقة),
- gharar yang terjadi ringan/sepele (وكان الغرر حقيرا),
أجمعوا على صحة بيع الجبة المحشوة وإن لم ير حشوها ولو بيع
حشوها بانفراده لم يجز
Artinya:
”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan jual beli jubah/jas
yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya
dijual secara terpisah, maka justru tidak diperbolehkan. Sebagian ulama
memberi toleransi atas gharar yang terjadi dalam beberapa akad komersial,
karena memenuhi kriteria seperti diatas:
وأجمعوا على جواز إجارة الدار والدابة ونحو ذلك شهرا مع أن
الشهر قد يكون ثلاثين يوما وقد يكون تسعة وعشرين ،
Artinya:
”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan menyewa rumah atau
hewan dan yang semisal selama 1 bulan, walau 1 bulan dapat berarti 30
hari atau 29 hari”.
وأجمعوا على جواز دخول الحمام
بالأجرة مع اختلاف الناس في استعمالهم الماء وفي قدر مكثهم ،
Artinya:
”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan masuk ke dalam kamar mandi
(umum) dengan upah (ujrah), walau ada perbedaan dalam penggunaan air dan berapa
lama waktu didalam kamar mandi tersebut”.
وأجمعوا على جواز الشرب من
السقاء بالعوض مع جهالة قدر المشروب واختلاف عادة الشاربين وعكس هذا ،
Artinya:
”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan minum dari tempat air minum
dengan upah, walau tidak diketahui banyaknya air yang diminum dan perbedaan
kebiasaan para peminim dan sebaliknya.”
Mengamati berbagai larangan bagi terjadinya gharar dalam transaksi
menurut syariat Islam, maka sebagaimana disampaikan oleh Dharir, maka gharar
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Pertama, gharar terkait
dengan kontrak.
Gharar ini muncul
dikarenakan adanya kontrak yang memang berimplikasi pada adanya ketidakjelasan
atau ketidaktahuan. Ada beberapa kontrak yang mengandung gharar, meliputi :
-
Dua
jual beli dalam satu kontrak,
-
down
payment atau arbun,
-
jual
beli yang hanya sekedar menyentuh dan tidak boleh mengecek barang,
-
Perdagangan
yang disandarkan pada peristiwa tertentu di masa mendatang sebagai syaratnya
(mu’allaq),
-
Perdagangan
yang di ditunda untuk masa tertentu di waktu yang akan datang (mudhaf).
Kedua adalah gharar yang
terkait dengan objek.
Gharar yang
terkait dengan objek ini pada prinsipnya adalah semua ketidakjelasan atau
ketidaktahuan akan jenis dari suatu barang, klasifikasi barang serta
sifat-sifat termasuk kuantitas, identitas spesifik ataupun karena waktu
pembayarannya yang tidak pasti. Termasuk dalam gharar yang terkait dengan objek
ini adalah jika objeknya tidak memungkinkan untuk diserahkan atau objeknya
tidak eksis atau tidak ada dan terakhir adalah objek yang tidak dapat
disaksikan atau dilihat.
Secara detail,
cakupan gharar jenis ini adalah :
-
Ketidaktahuan
akan jenis objek
-
Ketidaktahuan
akan spesies objek
-
Ketidaktahuan
akan sifat (atribut) objek
-
Ketidaktahuan
akan kuantitas objek
-
Ketidaktahuan
akan essensi objek
-
Ketidakmampuan
untuk menyerahkan barang, memperjanjikan objek yang tidak ada, serta,
memperjualbelikan barang yang tidak dapat dilihat.
Ada dua jenis
akad :
1)
Akad
tabarru’, menyebutnya aqdun tabarrui’yyun - limashlahati ahadit torofain -
gratuitous contract) adalah akad derma/sumbangan atau kebajikan, untuk
kepentingan salah satu pihak. Akad Tabarru ini juga suatu transaksi yang tidak
berorientasi komersil atau not profit oriented (transaksi nirlaba).
Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersil
akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu
‘alal birri wattaqwa). Dalam akad ini pihak yang berbuat kebaikan (bank)
tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian, pihak yang berbuat
kebaikan (bank) dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover
the cost) kepada nasabah (counter-part). Tapi tidak bolehkan
sedikitpun untuk mengambil laba dari akad tabarru ini. Yang termasuk dalam akad
tabarru dalam Bank Syariah di antaranya: qard, rahn, hiwalah, wakalah,
kafalah, wadi’ah hibah, wakaf, shadaqah, zakat, dan hadiah.
2)
Akad mu’awadhoh yang berarti
pertukaran. (aqdun mu’awadhoh atau commutative contract. Kata mu’awadah
berasal dari kata iwadho (badalun – ganti, tukar) yang
berarti alkholafa (ganti) dan albadlu lisy-syay’i (ganti bagi
sesuatu). Secara fikhiyyah, mu’awadhoh berarti almubadalatu baina
iwadhoini (penggantian antara dua pertukaran). Akad mu’awadhoh merupakan
salah satu sarana pemilikan yang berasaskan pada perwujudan hak dan kewajiban
secara timbal balik antara para pelaku akad, seperti jual beli, ijaroh dan
bai’us salam.[8]
Hampir mirip dengan akad muawadhoh ialah apa yang disebut sebagai
akad tijari yakni akad yang berorientasi pada keuntungan komersil (for
profit oriented). Dalam akad ini, masing-masing pihak yang melakukan akad
berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya termasuk pada
kelompok akad tijari ini di antaranya : munâbahah, salâm, ‘istishna,
musyârakah, mudhârabah, ‘ijârah, ‘ijâtah mumtahia bittamlik, sharf, muzâra’ah,
musâdaqah, mukhâbarah dan barter.[9]
Gharar
terjadi pada objek utama transaksi
Dalam
hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal yang karenanya
akad dibuat dan berlaku akibatakibat hukum akad. Obyek akad dapat berupa benda,
manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak
bertentangan dengan Syariah. Kedudukan
obyek akad adalah sangat penting karena ia termasuk bagian yang harus ada
(rukun) dalam hukum perjanjian Islam. Oleh karena keberadaannya sangat
menentukan sah tidaknya perjanjian yang akan dilakukan, maka obyek akad harus
memnuhi syarat-syarat sahnya seperti terbebas dari unsur-unsur gharar (ketidakjelasan).
§ Macam Gharar :
1.
Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual
rumah ini kepada si A tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang
mengandung sesuatu tidak jelas).
2.
Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya,
contoh : jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.
§ Gharar dalam
objek transaksi :
1.
Ketidakjelasan jenis objek transaksi (الجهالة في جنس المعقودعليه)
Mengetahui jenis obyek
akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya
tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya.
Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan
jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari
Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya
tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak
melihat komoditinya).[10]
Begitu
juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan adanya syarat,[11]
berdasarkan
hadis berikut:
“Siapa yang membeli
sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat
barang itu”.
Akan
tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah,
baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu,
menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsure
penipuan (gharar)
2.
Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (الجهالة في نوع المعقودعليه)
Gharar dalam macam
obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis
obyek akad.
Tidak
sahnya akad seperti ini karena mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya.
Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda
binatang dengan harga sekian” tanpa menjelaskan binatang
apa dan yang mana.[12] Oleh
karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara
jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi
jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa
dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara
melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana
yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang
harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat
memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.[13]
Dari Abu Hurairah
diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang
jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)
3.
Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek
transaksi ( (الجهالة
في الصفة المعقودعليه
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan
sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat
untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat,
bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi
ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi
jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para
ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
Sebagian
mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka
yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan
perselisihan, disamping itu pembeli juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang
pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga, adapun
tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk disebutkan sifat dan
karakternya.[14]
Sedang
Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter baik terhadap
komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam
sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan gharar yang dilarang
dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’I mensyaratkan
penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang
tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika
pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga
tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan
karakternya.[15]
4.
Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi (الجهالة في القدر المعقودعليه)
Tidak sah jual beli
sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar
harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum dilarangnya adalah karena
adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan
Syafi’i dengan jelas memaparkan pendapatnya.
Contoh dari transaksi
jual beli yang dilarang karena unsure gharar yang timbul akibat ketidaktahuan
dalam kadar dan takaran obyek transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu
jual beli barter antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah
dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman
dengan makanan dalam takaran tertentu. Adapun illat dari pengharamannya
adalah adanya unsure riba yaitu aspek penambahan dan gharar karena tidak konkritnya
ukuran dan obyek atau komoditi.[16]
5.
Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi (الجهالة في الذات المعقودعليه)
Ketidaktahuan dalam zat
obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat
dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui,
sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan. Seperti jual
pakaian atau kambing yang bermacam-macam.[17]
Mazhab Syafi’i,
Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas
banyak maupun sedikit karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan
baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi
pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap akad. Adapun
mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang
melebihi dari tiga.[18]
6.
Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi (الجهالة في الزمن المعقودعليه)
Jual beli tangguh (kredit), jika
tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.[19]
Seperti jual beli habl al-hablah,
yaitu jual beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya,
atau hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga
anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang
terlarang karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan
penangguhan pembayaran.[20]
7.
Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi
(عدم الفدرة على تسليم)
Kemampuan menyerahkan obyek
transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli.
Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara
otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar
(tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan
tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli
seperti ini karena mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat
dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak.[21]
Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata:
Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku
minta aku menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya,
kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab
: jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR.
An-Nasa’i).[22]
8.
Objek transaksi yang spekulatif
Gharar yang dapat
mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (ma’dum) obyek transaksi.
Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin
tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi jual beli
anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang
mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu
juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.[23]
§ Macam Gharar
ditinjau dari hukumnya :
1.
Gharar banyak hukum haram, contoh : menjual
ikan diair
2.
Gharar sedikit hukum mubah, contoh :pondasi
rumah ketika dibeli orang lain
3.
Gharar sedang hukum masih diperselisihkan para
ulama
Contoh :
a.
Masalah Asuransi
b.
Wc umum (tidak ada kejelasan apakah mau beli
airnya atau sewa tempatnya, contoh lain ; penjualan rumah, itu sudah pasti sama
pondasinya, walaupun tidak disebutkan, memancing ikan, kalau niatnya ingin
membeli ikan maka tidak boleh, karena ada unsure gharar, tetapi kalau menyewa
tempat hal itu diperbolehkan.
c.
seperti restoran, dimana makan sekenyangnya,
pokoknya sekali makan, hal ini tidak ada kejelasan masing-masing.
§ Macam Gharar
ditinjau dari kandungannya ;
1.
Jual beli yang belum ada dan masih diragukan
keberadaannya.
2.
Jual beli sesuatu yang tidak dapat atau mungkin
diserahterimakan.
3.
Jual beli al majhul (sesuatu yang tidak jelas
atau tidak diketahui).
§ Gharar dalam
Transaksi :
1.
Kesepakatan satu transaksi
2.
Jual beli dengan hilangnya uang muka
3.
Jual beli jahiliyah (dengan sentuhan, lemparan batu)
4.
Jual beli bergantung
5.
Jual beli al-Mudhof, contoh : si A menjual barang, kalau kontan haraganya
Rp 1000 tetapi kalau kredit harganya Rp 1200, kemudian si pembeli mengatakan
saya beli barang ini, tapi disini si pembeli tidak menentukan 2 kesepaktan itu.
ini termasuk gharar kabir, contoh lain jual rumah dengan jual rumah lagi.
REFERENSI
Standar Akuntansi Keuangan
oleh Ikatan Akuntan Indonesia, 2007
Transaksi dan etika bisnis islam. Dr. Husain shahatah dan Dr.
Siddiq M. Amin ad dharir.
Ahmad Syafiq al-Khotib, dalam kamus Al-Iqtishod wat-Tijaroh
Aroby – Inglizy, Beirut – Libanon, 2007, hal. 362
Ahmad Syafiq al-Khotib, hal. 263
Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Umrony, Al-Uqudul
Maliyah al-Murokkabah Dirosah Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tatbiqiyyah,
hal. 31
Dr. H. Habib
Nazir, MA, Ensiklopedi Ekonomi Perbankan Syariah, Kafa
Publishing, Bandung, cetakan II, 2008, 17-18
[1] http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/gharar.html
[3] Muntaqa jilid.
5 hal. 41
[4] Qawaid
nuraniyah hal.140
[5] Vide:
Bab Ta’min – Abhats Haiah Kibar Al-Ulama, tahun 2001, http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?
[6] Vide:
Al-Furuq Lil Qarafii, jilid 1/hal. 150; Adz-Dzkirah Lil Qarafii, jilid 6/hal.
243-244 dan jilid 7/hal. 30; Majmu’ Al-Fatawaa, jilid 31/hal. 270-271
[7] Vide:
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid X/hal. 156
[8] Abdullah bin
Muhammad bin Abdullah al-Umrony, Al-Uqudul Maliyah al-Murokkabah Dirosah
Fiqhiyyah Ta’shiliyyah wa Tatbiqiyyah, hal. 31
[9]
Dr. H. Habib
Nazir, MA, Ensiklopedi Ekonomi Perbankan Syariah, Kafa
Publishing, Bandung, cetakan II, 2008, 17-18
[10]Khiyar ru’yah adalah hak pilih
bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan
terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Nasroun
Haroun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 137
[11]
Abu al
Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al Qurtubi, Op.Cit.,
h. 154
[12]
Husain
Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis
Islam, terj. Saptono Budi Satryo dan Fauziah, (Jakarta: Visi Insani Publishing,
2005), h. 167
[13]
Syamsul
Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh
Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 191
[14] Husain Syahatah dan Siddiq Muh.
Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 168
[15] Husain Syahatah dan Siddiq Muh.
Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 169
[16] Ibn Rusyd, Op. Cit., h.
156
[18]
Ibrahim
ibn Yusuf al-Syirazi, al-Mihadzab, (Mesir: Isa al Halbi, 476H), h. 263
[20] Husain Syahatah dan Siddiq Muh.
Al-Amin Adh-Dhahir, Op.cit., h. 180
[21] Syamsul Anwar, Op.cit., h.
191
[22]
Lihat
an-Nasa’I, Sunan Nasa’I, ed. Abu al-Fath Abu Guddah (Aleppo: Maktab
al-Mathbu’at al Islamiyyah, 1406H), VII: 289, hadis no.4613
[23]
Lihat
Ibrahim bin Fathi bin Abd Muqtadir, Uang Haram, terj. Ahmad Khotib dkk.,
(Jakarta: Amzah, 2006), h. 16
bagussnyaa..mksih yaaa salam kenal by hafizi 085247009321......
BalasHapusmakasih untuk ilmunya
BalasHapusSama-sama :)
BalasHapusJika berkenan silahkan kunjungi blog baru ana yak, blog yg ini lupa password nya :( .. fatiharidwan03.blogspot.com
BalasHapustrimakasih :)
kalau jual beli online apa termasuk gharar juga ya mbak?
BalasHapus